Gapoktan Mbangun Karyo Tani Desa Jati
Desa Jati, yang terletak di Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar, adalah sebuah wilayah yang dikenal dengan hamparan persawahannya yang luas dan hijau. Desa ini memiliki pemandangan yang indah dengan sawah-sawah yang membentang sejauh mata memandang, menciptakan suasana pedesaan yang tenang dan asri. Masyarakat Desa Jati sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, dengan sistem pertanian yang masih tradisional namun efektif dalam memanfaatkan lahan subur yang ada. Persawahan di Desa Jati tidak hanya menjadi sumber penghidupan bagi penduduk setempat, tetapi juga menjadi bagian integral dari identitas desa tersebut. Selama musim tanam, desa ini dipenuhi dengan aktivitas warga yang bekerja di sawah, mulai dari menanam padi hingga memanen hasilnya.
Pada setiap desa terdapat suatu naungan untuk para petani yaitu GAPOKTAN atau Gabungan Kelompok Tani. Gapoktan adalah sebuah organisasi yang dibentuk oleh beberapa kelompok tani yang bersatu untuk mencapai tujuan bersama, seperti meningkatkan produksi pertanian, meningkatkan kesejahteraan petani, dan mengembangkan potensi pertanian di wilayah mereka. Gapoktan memiliki struktur organisasi yang jelas dengan kepemimpinan, anggota, serta tujuan dan fungsi yang spesifik. Mereka biasanya bekerja sama untuk mendapatkan akses yang lebih baik ke sumber daya, teknologi, informasi, dan pasar. Dengan bersatu dalam Gapoktan, kelompok tani dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kegiatan pertanian mereka serta memiliki suara yang lebih kuat dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pertanian di tingkat lokal, regional, maupun nasional.
Desa Jati dengan mayoritas penduduknya sebagai petani tentu memiliki Gapoktan yang menanungi para warga yang berprofesi sebagai petani. Gapoktan Mbangun Karyo Tani, merupakan gapoktan yang menaungi total lima kelompok tani yang ada di Desa Jati. Menurut sumber Bapak Suratno selaku ketua Gapoktan pada masa periode 2016 hingga penulis wawancarai pada 10 Juli 2024 masih menjabat, Gapoktan Mbangun Karyo Tani sudah didirikan dari tahun 2007 namun baru disahkan atau dikukuhkan pada 26 Desember 2010 dengan ketua Mulyono, Sekretaris Riman, dan Bendahara Marsono.

Gapoktan ini menaungi lima kelompok tani yang ada di Desa Jati. Hal ini sudah berkembang karena di saatt masa Pak Mulyono hanya ada tiga kelompok tani. Sebelum tahun-tahun covid-19, Gapoktan Mbangun Karyo Tani rutin melaksanakan pertemuannya dua bulan sekali namun saat tahun 2020 hingga 2022 semua kegiatan Gapoktan berhenti.
Desa Jati dan Permasalahan Pertanian
Di Desa Jati, permasalahan pertanian menjadi salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh para petani, terutama selama pandemi COVID-19. Sebelum pandemi, pertemuan rutin bulanan antara petani berjalan lancar, namun semua kegiatan berhenti selama pandemi. Dalam dua tahun pandemi, tanaman padi di sekitar Desa Jati gagal panen akibat serangan hama, terutama burung, tikus, dan sundep. Burung menjadi ancaman terbesar, meskipun warga telah menangkap hingga ribuan burung, jumlahnya tidak berkurang secara signifikan. Petani kemudian memasang jaring ikan di atas lahan mereka untuk mengurangi serangan burung.
Setelah masalah burung berkurang, serangan tikus menjadi lebih merajalela. Meskipun kelompok tani (POKTAN) telah dilengkapi dengan handtractor dan GAPOKTAN memiliki alat tanam, penggunaan alat tersebut tidak terlalu diminati karena jarak tanamnya yang dianggap terlalu lebar oleh petani setempat. Desa Jati sebelumnya dikenal dengan metode tanam Jajar Legowo (JARWO), yang memberikan ruang kosong antar tanaman untuk perawatan dan pemberantasan hama. Namun, metode ini perlahan ditinggalkan oleh beberapa petani. Meskipun masalah burung sudah mulai teratasi, tikus masih menjadi ancaman utama, dengan berbagai upaya pemberantasan yang dilakukan, seperti menggunakan omprong dan bantuan dari pemerintah, namun serangan tikus tetap berlanjut. Penggunaan perangkap tikus listrik dilarang oleh kepala desa karena risiko keselamatan, dan pernah terjadi insiden fatal akibat alat tersebut di daerah lain. Selain itu, kurangnya rotasi tanaman juga memperparah masalah hama tikus. Meskipun ada potensi menanam palawija atau tebu, petani lebih memilih menanam padi karena dianggap lebih mudah, meski hal ini sebenarnya memperburuk masalah hama.
Pelatihan dan Penerapan Pupuk Organik Cair (POC)
Di Desa Jati, pelatihan pembuatan Pupuk Organik Cair (POC) telah diberikan kepada petani setempat sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan hasil pertanian. Bantuan dari pemerintah juga diberikan dalam bentuk POC merek EcoFish. Proses pembuatan POC yang diajarkan mencakup penggunaan bahan-bahan seperti urea, tetes tebu, dan berbagai jenis sayuran untuk menghasilkan pupuk dasar dan lanjutan yang dapat digunakan selama masa tanam. Petani diajarkan cara mengaplikasikan pupuk ini ke lahan setelah diolah, yang diharapkan dapat meningkatkan kesuburan tanah dan hasil panen.
Tantangan Pendidikan dan Regenerasi Petani:
Masalah pendidikan di Desa Jati juga menjadi tantangan serius. Banyak warga hanya memiliki pendidikan hingga tingkat SMA, dan sedikit yang melanjutkan ke perguruan tinggi karena kendala biaya. Selain itu, generasi muda di desa ini semakin enggan untuk melanjutkan profesi sebagai petani, mengingat pendapatan dari bertani seringkali tidak cukup untuk menopang kehidupan. Hal ini mengancam keberlanjutan sektor pertanian di desa tersebut, mengingat tidak adanya regenerasi petani yang memadai.
Dialog dengan Pemerintah dan Keluhan Petani
Pak Suratno, seorang tokoh petani dan ketua GAPOKTAN di Desa Jati, pernah berdialog dengan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, tentang berbagai masalah yang dihadapi petani. Pak Suratno menyampaikan bahwa petani di Indonesia sering kali tidak dihargai, dengan harga hasil panen yang tidak stabil dan kurangnya dukungan pemerintah dalam hal ketersediaan pupuk yang memadai. Meskipun dianjurkan untuk beralih ke pertanian organik, Pak Suratno menekankan perlunya studi dan contoh yang jelas sebelum petani dapat sepenuhnya beralih ke metode tersebut.
Proses Pasca Panen dan Tantangan Ekonomi
Pasca panen di Desa Jati masih dilakukan secara manual, dengan tenaga kerja yang cukup banyak dibutuhkan. Hasil panen berupa gabah biasanya langsung dijual, berbeda dengan masa lalu di mana gabah disimpan terlebih dahulu di rumah. Hal ini dilakukan agar petani dapat segera melanjutkan produksi berikutnya, namun dengan laba yang sangat minim. Dalam satu musim tanam, laba maksimal yang didapatkan hanya sekitar 1,5 juta rupiah, yang harus dibagi untuk memenuhi kebutuhan hidup selama empat bulan. Jika dihitung untuk lahan satu hektar, keuntungannya hanya sekitar 4,5 juta rupiah, yang tentunya sangat kurang untuk menunjang kehidupan sehari-hari.
Legalitas dan Bantuan untuk Kelompok Tani
Kelompok tani di Desa Jati mendapatkan pengakuan resmi dari Kepala Desa dan Dinas Pertanian. Legalitas ini penting karena bantuan dari pemerintah hanya diberikan kepada kelompok tani yang memiliki legalitas, bukan langsung kepada petani individu. Desa Jati mengalami pemekaran, sehingga jumlah kelompok tani bertambah dari tiga menjadi lima sesuai dengan wilayahnya. Setiap kelompok tani dipimpin oleh ketua dan sekretaris yang dipilih oleh anggotanya, yang terdiri dari petani penggarap.
Peran Perempuan dalam Pertanian
Peran perempuan dalam pertanian di Desa Jati juga semakin berkurang, terutama karena adanya obat rumput yang mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja perempuan untuk penyiangan. Meski begitu, perempuan masih berperan penting dalam tahap penanaman, terutama dalam sulam dan penggarapan lahan. Namun, jumlah tenaga kerja perempuan terus menurun seiring perkembangan teknologi dan penggunaan bahan kimia dalam pertanian.
Perubahan Pola Tanam dan Jenis Padi pada Tahun 1970-an:
Pada tahun 1970-an, Desa Jati mengalami perubahan signifikan dalam pola tanam. Sebelum tahun 1970, petani menanam padi dua kali setahun dan sisanya digunakan untuk menanam palawija. Namun, dengan munculnya padi jenis rojo lele dan wulu cinandi, yang merupakan varietas lama, serta jenis baru unggul tahan wereng (UTW) pada awal 1970-an, pola tanam berubah menjadi dominan padi. Sayangnya, pada pertengahan 1970-an, serangan wereng mulai meluas, mengakibatkan kerusakan besar pada tanaman padi. Untuk mengatasi hama ini, pemerintah bahkan melakukan penyemprotan udara. Pada masa itu, padi memiliki batang yang lebih panjang dibandingkan dengan padi modern, sehingga petani menggunakan alat tradisional seperti ani-ani dalam proses panen.
Program BIMAS dan Dampaknya pada Petani.
Program BIMAS (Bimbingan Massal) dan intensifikasi pertanian massal pernah diterapkan di Desa Jati untuk meningkatkan produksi pangan. Program ini memberikan pinjaman berupa pupuk dan bibit kepada petani, yang seharusnya dibayar kembali saat panen. Namun, banyak petani yang tidak mampu mengembalikan pinjaman tersebut, sehingga program BIMAS akhirnya dihentikan. Meskipun BIMAS diserap dengan baik oleh petani, ketidakmampuan untuk mengembalikan pinjaman menciptakan masalah keuangan dan akhirnya program ini dihapus tanpa ada penagihan lebih lanjut. BIMAS sempat menjadi harapan untuk peningkatan produksi pangan, namun gagal dalam pelaksanaannya.
Kondisi Tanah dan Tantangan Hama di Karanganyar
Karanganyar dikenal dengan sifat tanahnya yang multikultur, memungkinkan penanaman berbagai jenis tanaman seperti padi, holtikultura, kopi, teh, dan karet. Namun, tantangan hama sudah menjadi masalah sejak tahun 1971, terutama hama tikus yang hingga kini masih sulit diatasi. Meskipun hama wereng dan sundep telah dapat diatasi dengan obat yang cukup efektif, serangan tikus tetap menjadi ancaman utama bagi petani di daerah ini.
Perubahan Hak Guna Usaha (HGO) dan Dampaknya pada Petani
Pada masa sebelum tahun 1960-an, tanah di Karanganyar dimiliki oleh pemerintah melalui Hak Guna Usaha (HGO), di mana petani harus mengikuti perintah pemerintah dalam menanam tebu secara serentak di blok tertentu. Namun, setelah era Pak Suharto, HGO diubah menjadi hak milik pribadi, memberikan kebebasan kepada petani untuk mengelola lahannya sendiri. Pada tahun 1970-an, melalui program TRI (Tebu Rakyat Indonesia), kepemilikan lahan tebu dialihkan dari perusahaan ke petani. Meskipun niatnya untuk meningkatkan kesejahteraan petani, banyak yang salah pengertian dan tidak mengelola lahan dengan baik, mengakibatkan kerugian finansial. Akhirnya, setelah program TRI punah, banyak petani beralih untuk menyewakan lahannya atau kembali menanam padi sendiri.